Penulis: M. Rusdi (Dosen Pend. Sosiologi, Universitas Iqra Buru)
OPINI- Bulan Suci Ramadan adalah bulan yang paling dinantikan oleh seluruh umat Islam. Sekarang telah tiba, tentulah sesuatu yang wajar ketika tiba waktunya untuk melakukan refleksi diri, mengenai perbedaan Ramadan yang lalu dengan yang sekarang?
Ketika kembali ke ayat “kutiba‘alaykumus shiyam” (QS 2:183), ternyata masih tetap sama dan tidak ada yang berubah?
Termasuk perdebatan kapan memulai puasa, juga adalah sesuatu yang berulang di setiap tahunnya, serta bisa saya katakan bahwa masih tetap sama dengan tahun kemarin, lantas apa bedanya? Suasana Ramadan saat sahur, sampai berbuka puasa dan melaksanakan shalat tarawih berjamaah juga tetap sama seperti tahun kemarin.
Tahun 2024 menjelang Ramadan, publik dikagetkan. Dengan hal pamer-pameran dari keluarga pejabat/pamer kemewahan, pamer pencitraan di moment pesta demokrasi, dan sebagainya untuk mencari popularitas dan pengakuan dari netizen.
Hal yang demikian apakah bisa berubah? Mungkinkah, kita akan melihat isi medsos akan tergantikan dengan postingan- postingan tentang acara ritual keagamaan di bulan Ramadan?
Dari keluarga yang pamer kemewahan, pamer pencitraan, menjadi pamer kedekatan dengan Tuhan. Adakah sesuatu yang keliru dengan hal ini? Atau memang agama adalah tempat yang paling aman untuk dijadikan tempat persembunyian yang sempurna dalam mencapai suatu hajat dan ambisi demi keuntungan pribadi/keluarga?
Menjelang bulan puasa, publik juga dikagetkan dengan berbagai dugaan kecurangan dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan pada Rabu,12 februari 2024, yang memicu berbagai gerakan demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat di berbagai daerah, berbagai kasus korupsi melibatkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Ketua KPK Firli Bahuri, dan kasus-kasus korupsi lainya yang banyak merugikan uang negara. Apakah kasus-kasus ini akan lenyap begitu saja?
Sekali lagi, lantas apa yang bisa membedakan puasa pada hari ini dengan puasa di tahun kemarin?
Dengan demikian, maka pengalaman spiritual apa yang hendak dijalani di bulan suci ini, setelah dikagetkan dengan berbagai peristiwa yang saya uraikan diatas.
Ketika kita ingin mengkaji lebih dalam, terkait beberapa fenomena diatas, maka sumber masalahnya atau penyebab utamanya adalah adanya ketidak mampuan individu untuk menahan diri dari syahwatnya.
Kesombongan, keserakahan, pamer kemewahan dan pencitraan untuk popularitas adalah kategori syahwat yang mesti dikendalikan.
Lalu apa yang mesti menjadi pegangan, agar Ramadan 2024 ini bisa lebih bermakna dan bisa lulus dari ujian dalam mengendalikan syahwat?
Nabi bersabda, “Janganlah kalian mematikan hati dengan terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman. Karena hati itu seperti tanaman, akan mati apabila terlalu banyak disiram air.”
Imam al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin menjelaskan “perbuatan dan ucapan manusia itu sesuai dengan apa yang dikonsumsinya. Jika yang masuk barang haram, maka yang keluar adalah barang yang haram. Jika masuk barang yang berlebihan, maka yang keluar adalah hal-hal yang berlebihan.”
Bulan puasa di 2024 ini untuk mengingatkan bahwa kemuliaan manusia diraih lewat kemampuan menahan syahwatnya, bukan melampiaskannya. Makan, minum dan seks sebagai naluri dasar manusia juga dipuasakan, bukan dipuaskan. Begitupun dengan panca indera, pikiran dan juga hati.(*)