Penulis: Muhammad Mukaddar, S.Ag., MA.Pd. (Dosen FAI, Universitas Iqra Buru)
OPINI- Dalam konteks kemanusiaan dan sosial, status manusia berada pada strata yang tertinggi jika dibandingkan dengan entitas yang lain. Hal ini karena pada manusialah Allah, Tuhan Yang Maha Besar meletakkan amanah teologis dan kosmologis yang tidak diberikan pada makhluk lain. Pada amanah teologis, manusia mengemban tugas untuk menjaga kesucian fitrah yang bermuara pada ketundukan dan ketaatan kepada Sang Khaliq. Substansi utama dari tugas ini adalah agar manusia semakin sadar akan status kemanusiaannya yang berimplikasi pada pola hubungan baik antara satu dengan yang lainnya.
Sementara amanah kosmologis, merupakan tugas yang terkait dengan menumbuhkembangkan kesadaran ekologis masyarakat dalam menjaga dan merawat keberlangsungan keseimbangan ekologi, agar alam tetap seimbang dan nyaman untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan. Kedua tugas utama ini selanjutnya diemban oleh manusia dalam konsep kekhalifahan QS. Al-baqarah [2]: 30. Aplikasi dari tugas-tugas dimaksud selama berabad-abad bisa berjalan dengan baik, meskipun kadang-kadang terabaikan, karena sifat ego manusia itu sendiri.
Sifat egois ini jika terus terpelihara dan berpadu dengan berbagai perbedaan latarbelakang, maka akan semakin besar jarak pemisah antara berbagai elemen di masyarakat. Indonesia, sebagaimana diketahui bersama memiliki berbagai keragaman budaya, beragam bahasa, agama dan lain sebagainya. Namun terkait hal ini, perlu juga disadari bahwa sudah puluhan tahun keragaman ini tetap satu dengan landasan nilai-nilai luhur, baik nilai agama maupun falsafah Pancasila. Dengan landasan nilai-nilai normatif inilah kesatuan Indonesia dipertahankan sampai saat ini. Hal ini juga sekaligus pembuktian sejarah bahwa landasan ideologi negara yang ditopang dengan nilai agama benar-benar teruji di ruang nyata sepanjang sejarah.
Salah satu agama yang memiliki andil cukup besar dalam menjaga dan memperkuat persatuan bangsa adalah Islam. Sebagai agama wahyu, nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya tidak hanya berada pada tataran ilahiyah semata, namun ajarannya membumi dan menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sifat egois memang mencerminkan watak dan karakter yang ‘ujub yang jika bobotnya semakin besar akan disebut dengan sombong (takabbur). Kesombongan senantiasa menjadikan seseorang memiliki jarak yang lebar dengan orang lain bahkan dengan Sang Pencipta. Terkait dengan sifat sombong ini bisa disebabkan karena beberapa hal yang dominan; karena status sosial, kekayaan, kepangkatan, dan lain sebagainya. Dalam ajaran Islam, melalui sumber yang otentik; al-Qur’an maupun Hadits, kesombongan tidak akan mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah swt (QS. Al-Isra’ [17]: 37, al-Zumar [39]: 60), serta masih banyak ayat-ayat yang mengancam perilaku sombong.
Dalam satu kesempatan, Abu Yazid al-Bustami (Abu Yazid Taifur bin Isa bin Adam Surusyam al Bustami, 874-947 M), bermimpi bertemu dengan Tuhan; dalam mimpi itu Abu Yazid bertanya kepada Tuhan “wahai Tuhan ku, bagaimana caranya agar aku bisa semakin dekat dengan-Mu.?” Kemudian dijawab “buanglah semua egomu terlebih dulu, setelah itu kamu akan dekat dengan-Ku”. Isyarat mimpi Abu Yazid ini mengandung pelajaran berharga bahwa betapa orang yang memiliki sifat sombong itu sangat jauh dari Tuhan nya. Jauh di sini bisa bermakna jarak yang jauh, bisa juga bermakna tidak disukai atau dibenci oleh Tuhan, atau juga karena kesombongannya berakibat Tuhan tidak mengenalnya. Selain itu, kesombongan juga menyebabkan jarak sosial semakin lebar, semakin tidak kenal dengan orang-orang di sekitarnya, dan akan berlanjut seterusnya. Padahal Islam menganjurkan kepada kita semua untuk membangun persahabatan dengan siapa saja, saling kenal-mengenal dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang perbedaan, di sinilah gambaran bahwa kita adalah satu. Nabi Muhammad saw menyatakan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari;
أَفْشُ السَّلاَمَ وَأَطْعِمُ الطَّعَامَ وَصَلِّ اْلأَرْحَامَ وَقُمْ بِالَّليْلِ وَالنَّاسِ نِيَامٌ ثُمَّ ادْخِلِ الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Sebarkanlah persahabatan, berikanlah makan, jalinlah interaksi dengan penuh kasih sayang, lakukanlah shalat malam ketika kebanyakan manusia sedang tertidur, maka kemudian masuklah ke dalam surga dengan keselamatan”.
Pada konteks teologi; kita adalah satu dalam keyakinan, sementara pada konteks sosial; kita adalah satu dalam kemanusiaan. Pada ruang kebangsaan pun, kita diikat dengan berbagai instrumen yang menjadikan kita semakin kuat dan kokoh. Ideologi Pancasila telah teruji sepanjang sejarah, mampu menjaga kesatuan bangsa dan keutuhan negara.
Pada ideologi Pancasila, ada semangat gotong royong, tenggang rasa, saling tolong-menolong dan sebagainya. meskipun terdapat sekian banyak perbedaan, namun ternyata kita adalah satu. Ada budaya orang Sumatera yang jauh berbeda dengan orang Kalimantan, namun karena di Sumatera dan Kalimantan terdiri dari manusia, maka ada kesamaan kemanusiaan yang harus dijaga. Budaya Maluku berbeda dengan budaya Betawi, namun karena semuanya adalah manusia, maka ada nilai kemanusiaan yang harus tetap dijaga dan dipelihara. Bahwa ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila telah menjadikan kita semua adalah satu; satu dalam bahasa, satu dalam rasa, satu dalam berbangsa, satu dalam tumpah darah, serta satu dalam nilai kemanusiaan.
Kesatuan dalam keberagaman yang nampak dalam kehidupan kebangsaan, serta terus tumbuh berkembang dengan landasan nilai-nilai agama dan ideologi Pancasila. Bentangan perbedaan dari timur sampai ke barat justru menjadi satu keunikan sejati yang sulit ditemukan pada ruang-ruang lain di muka bumi ini. Singkirkan sifat sombong, buang jauh-jauh ego wilayah, hilangkan watak kebanggaan bahasa dan yang lainnya, maka kita akan menjadi manusia sejati. Sehingga dengan demikian, maka tidak ada “kamu” yang individualis, juga tidak ada “aku” yang individualis, yang ada adalah “kita”. Ternyata “Kamu” dan “Aku” adalah “Kita”; Kita Bangsa Indonesia, Kita Budaya Indonesia, Kita Bahasa Indonesia, Kita Manusia Indonesia, dan Kita berketuhanan Yang Maha Esa.(*)
Penulis: Muhammad Mukaddar, S.Ag., MA.Pd.
(Dosen FAI, Universitas Iqra Buru)