Penulis: Muhammad Mukaddar, S.Ag., MA.Pd. (Dosen Fakultas Agama Islam, Univ. Iqra Buru)
OPINI- Istilah “guru” sudah sangat akrab di telinga setiap orang dalam kapasitas apa saja, apakah orang tersebut pelajar atau pun bukan. Kata ini (guru) selalu identik dengan berbagai atribut, mulai dari seragam cokelat, putih, tas, dan atau apa saja, penampilan rapi, identik dengan disiplin, akrab dengan membaca, menulis, serta banyak ragam yang disematkan pada sosok ini. Dalam istilah agama, sosok ini biasa dikenal dengan sebutan “ustadz”, “mudarris”, “murabbi”, “mu‘allim” atau jika menggunakan istilah Syed Naquib Al-Attas (ahli filsafat pendidikan Islam) disebut “mu’addib”.
Pendapat Syed Al-Attas ini berdasar pada tugas utama guru, yakni bukan sekedar melakukan proses transformasi ilmu, tapi lebih dari itu proses transformasi
perilaku. Dengan kata lain, pembentukan kepribadian peserta didik itu seharusnya menjadi skala prioritas utama.
Penentuan skala prioritas ini juga mengacu pada landasan pendidikan Islam, Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Spirit normatif yang ada pada kedua landasan itu adalah membentuk manusia paripurna (insan kamil).
Sejarah mencatat bahwa dalam mengemban tugas kenabian, Rasulullah SAW secara aksplisit menyampaikan misi utama dalam tugasnya adalah membentuk karakter yang mulia (akhlak al karimah).
Dengan kata lain, sosok Nabi yang menjadi panutan umat ini, bisa dikatakan sebagai seorang guru dengan tugas yang saat ini diteruskan oleh para
guru di seluruh pelosok. Meneruskan tugas yang sama sebagaimana Nabi, maka guru selanjutnya memiliki kesejajaran dalam kapasitas yang sama dengan Nabi, yang tidak dapat diukur jasanya sampai kapan pun dan oleh siapa pun.
Isyarat nabi bahwa orang -orang yang berilmu (ulama) adalah pewarisnya, semakin menambah strata guru pada ruang kemuliaan tiada tara. Salah satu istilah guru dalam bahasa agama sebagaimana diketengahkan di atas adalah “murabbi” yang berawal dari kata “rabba-yarubbu”, dalam padanan kata yang sama dengan penyebutan Tuhan yaitu “rabbun”.
Istilah murabbi yang merupakan derivasi dari Rabb (Tuhan), makin menambah kedudukan dan kemuliaan guru di sisi Allah SWT. Bahwa tugas guru (rabba- yarubbu) merupakan keberlanjutan tugas pada unit terkecil dari isyarat kekuasaan Zat Yang Maha Besar.
Mengayomi, membimbing, membina, memelihara, melindungi, mendidik, mengajar, dan yang lainnya yang merupakan makna dari “rabba-yarubbu” adalah tugas pokok yang telah dan akan selalu dilaksanakan oleh seorang guru. Perintah Allah yang tertera pada wahyu yang pertama turun (iqra), saat ini selalu dilakukan guru pada para peserta didik agar perintah ini benar-benar membumi.
Seakan-akan Allah memberi isyarat kepada para guru bahwa manusia tidak akan bisa mempraktikkan perintah ini (membaca dengan baik dan benar) jika guru tidak ikut campur tangan di dalamnya. Atas dasar tugas dan tanggungjawab inilah, guru selalu berada di tengah-tengah masyarakat, meskipun keberadaannya (saat ini) tidak selalu dihormati dan dihargai namun guru tetap berusaha memberikan yang
terbaik demi masa depan masyarakat, agama dan bangsa.
Pahlawan tanpa tanda jasa, inilah istilah yang selalu disematkan kepada guru. Dalam tuntutan dan tantangan zaman yang makin kompleks dan kompetetif, istilah ini seakan-akan menjadi mantra yang kuat bagi seorang guru, sehingga meskipun dengan keadaan yang biasa atau bahkan memprihatinkan karena kesulitan medan juang dan ekonomi, guru tetap selalu berusaha memberikan yang terbaik meskipun tanpa tanda jasa. Kekuatan spirit guru ini mungkin karena namanya (murabbi) berada dalam nama Yang Maha Kuasa (rabbun) sehingga fitrah ini yang menjadikan guru tetap kokoh dalam keadaan apa pun.
Terbentuk dalam benaknya sebuah prinsip; “andaikan hanya ada seorang murid saja, guru akan tetap mengajarnya seperti seribu orang, dan seandainya sudah tidak ada lagi seorang murid pun, sang guru akan tetap mengajarkan alam semesta dengan pena yang dimilikinya”. Sekali lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Memang harus diakui bahwa jasa seorang guru tidak dapat dihitung oleh siapa pun. Jika kembali pada masa kejayaan Islam dulu, kedudukan seorang guru sangat dijunjung tinggi oleh khalifah. Bahkan pada masa Nabi pun demikian, penghargaan terhadap guru tidak diskriminatif karena latar belakang agama.
Orang-orang Quraisy yang tertawan dalam peperangan akan dibebaskan oleh Nabi jika bisa mengajarkan baca tulis pada generasi muslim, sebuah penghargaan luar biasa dari seorang guru mulia kepada guru-guru yang lain meskipun berbeda keyakinanya. Ini makin memperkuat asumsi betapa Islam menghargai ilmu, dari mana pun datangnya. Khalifah Harun Al-Rasyid dan beberapa khalifah yang lain bahkan memberikan imbalan emas seberat setiap buku yang ditulis oleh setiap guru, ini semakin menambah catatan sejarah betapa Islam mengagumi tugas guru.
Kemuliaan guru tidak dapat ditukar dengan apa pun, meskipun dunia dan seluruh isinya. Guru telah menjadi manusia sejati, melekat padanya sifat sabar, tekun, tawakkal, meskipun dalam sifat ini guru kadang atau bahkan sering meneteskan air mata, entah karena keadaan muridnya yang tidak mampu membaca, menghafal, memahami, atau mungkin karena keadaan sang guru itu sendiri, namun sekali lagi seluruh kesedihan ini tetap berada dalam kemuliaan Maha Besar.
Tatkala Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i (767 M Gaza – 820 M Mesir) dipuji oleh
gurunya Malik bin Anas bin Malik atau yang akrab dengan sebutan Imam Malik (711 M – 795 M Madinah) pada waktu Imam Malik meminta muridnya Syafi’i untuk menggantikannya mengajar murid-murid di masjid Nabawi. Imam Malik mengintik cara mengajarnya Imam Syafi’i, kagum dengan caranya itu, maka Imam Malik menulis pada salah satu tiang masjid: “barang siapa yang ingin belajar ilmu agama yang benar dan penuh berkah, maka hendaklah ia belajar dari Muhammad bin Idris as Syafi’i”.
Setelah membaca tulisan sang guru yang memujinya, Imam Syafi’i justru memberikan penghormatan balik kepada sang guru dengan balas menulis, “tidak ada Muhammad bin Idris, kecuali dia adalah murid Imam Anas bin Malik”. Etika guru dan murid yang luar biasa, yang makin menambah bobot dan kemuliaan orang-orang yang berkhidmad dalam belajar mengajar.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, memang benar. Karena jasa guru tidak dapat diukur kecuali oleh Sang Maha Guru, karena melakat pada jasa itu segudang pengabdian tanpa pamrih serta tidak ada kata berhenti, karena tugas guru sepanjang masa. Isyarat dalam sebuah riwayat: “hanya dengan ilmu dunia akan dikuasai, dengan ilmu juga akhirat akan dikuasai dan hanya dengan ilmu dunia dan akhirat akan dimiliki, dan ternyata guru sedang memberikan dunia dan akhirat untuk menjadi milik setiap orang, itulah guru; jasamu tiada tara”.
Aristoteles (filosof yunani) mengatakan: “satu-satunya tanda eksklusif dari pengetahuan yang menyeluruh adalah kekuatan mengajar seorang guru”. Orang bijak mengatakan: “belajar A, B, C, tidaklah cukup bagiku yang haus ilmu, dan belajar menghormati guru pun tidak cukup bagiku karena jasanya yang tidak terhingga”. Berkata orang bijak: “guru selalu mampu menumbuhkan cinta dalam hati sanubari muridnya, sehingga bisa mencintai yang lain karena Allah”.(*)
Oleh: Muhammad Mukaddar, S.Ag., MA.Pd. (Dosen Fakultas Agama Islam, Univ. Iqra Buru)