Penulis: Muh. Mukaddar, S.Ag., MA. Pd. (Dosen FAI Univ. Iqra Buru)
OPINI- Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dalam memeriahkan kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan yang sudah menjadi rutinitas bangsa ini senantiasa dikaitkan dengan perasaan senang, bahagia, bersuka cita serta kecamuk sekian perasaan gembira pada diri setiap orang. Konteks kemeriahan dan kebahagiaan ini selanjutnya diekspresikan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan; seperti, lomba panjat pinang, Tarik tambang, sepak bola, makan kerupuk, bahkan di daerah-daerah kegiatan ini dikombinasikan dengan lomba-lomba yang terkait dengan kearifan lokal budaya setempat.
Inisiasi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan dimaksud seringkali dan selalu muncul dari masyarakat, dalam hal ini kelompok pemuda, karang taruna, dan atau kumpulan-kumpulan lainnya yang berada di masyarakat.
Munculnya inisiatif dari kalangan masyarakat untuk mengadakan perlombaan-perlombaan tersebut adalah sebagai gambaran betapa kecintaan masyarakat terhadap bangsa ini begitu dalam dan tulus. Bahwa sudah semestinya bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, agama, serta keanekaragaman lainnya ini harus menjadi bangsa yang terpandang, terhormat, dan juga nyaman bagi segenap warga masyarakat.
Heterogenitas bangsa ini sebagai satu gambaran keunikan dan keindahan yang jika tidak diramu dengan baik, maka potensi konflik, percekcokan, dan kerusakan lainnya sulit untuk dihindari.
Namun demikian, kesatuan dalam berbagai keragaman yang ada ini menandakan betapa peka dan cerdas tokoh-tokoh bangsa yang telah merumuskan berbagai macam aturan dan dasar negara dalam meramu dan merekatkan berbagai macam perbedaan ini dalam satu kesatuan.
Rumusan inilah yang kemudian menjadikan setiap warga merasa merdeka untuk hidup, merdeka untuk berkreasi, merdeka untuk berinovasi, merdeka dalam beribadah, dan merdeka dalam menjalankan berbagai aktifitas keseharian tanpa adanya gangguan-gangguan yang menghambat.
Berdasarkan pada pikiran-pikiran tokoh-tokoh besar bangsa saat itu (masa perjuangan kemerdekaan), maka saat ini kita bisa menggemakan konsep Proklamasi, kita bisa membaca teks Undang-undang dasar 45, kita bisa membaca teks Pancasila, kita juga bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya, lagu kemerdekaan, serta lagu-lagu nasional lainnya yang sarat dengan semangat juang dan nilai-nilai peradaban. Masyarakat merasa bangga mendengar lantunan Indonesia raya, bangga dengan syair-syair dari lagu-lagu perjuangan dan tidak menutup kemungkinan bahwa seringkali sampai meneteskan airmata karena mengenang perjuangan hebat dari tokoh-tokoh bangsa.
Memotret peringatan kemerdekaan 17 Agustus yang ke -79 Tahun 2024 saat ini, perlu dilakukan sebuah kontemplasi nasional. Bahwa upaya untuk memajukan Indonesia harus merata dalam berbagai aspek dan di seluruh pelosok Nusantara. Karena hakikat kemerdekaan yang diperingati setiap tahun ini masih menyisakan (jika tidak dikatakan menumpuk) banyak persoalan di tengah-tengah masyarakat.
Kesenjangan, kemiskinan, pengembangan sumber daya manusia, pertikaian antar kelompok yang kadang atau bahkan sering terjadi, memunculkan berbagai pertanyaan mendasar bagi masyarakat; masihkah setiap warga merasa merdeka sebagaimana adanya, masihkah para petani merasa bangga dengan pertaniannya, masihkah para nelayan bangga dengan hasil tangkapannya, masihkah para guru bangga dengan tugasnya, jika diteruskan pertanyaan ini, maka sudah pasti masih banyak “masihkah” yang berada dalam daftar antrian pertanyaan yang harus dijawab.
Ketulusan masyarakat dalam mencintai bangsa ini harus direspon dengan keadilan yang merata, kesejahteraan yang menjangkau, kemanusiaan yang beradab, agar senyum tulus masyarakat dalam mencintai negara ini tidak berubah menjadi senyuman kecut karena ketidakpastian berbagai keadaan yang melelahkan.
Ekspresi kemerdekaan itu seharusnya tetap berada pada koridornya. Bahwa norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada Pancasila harus menjadi tolak ukur bagi setiap warga untuk meng-ekspresikan wujud kemerdekaan dalam dunia nyata. Merdeka tidak berarti “bebas” yang tanpa batas; bebas berperilaku, bebas berbicara, bebas bertindak, yang kemudian tidak ada lagi nilai yang membatasi. 36 butir Pancasila yang telah dirumuskan harus selalu menjadi dasar pijakan dalam ber-ekspresi. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam bernegara.
Namun demikian, setiap hak orang yang satu juga dibatasi oleh hak orang lain, begitu juga hak kelompok yang satu dibatasi oleh hak kelompok lain, dan disinilah berlaku konsep saling menghargai antar sesama. Pemanfaatan berbagai media pun harus dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila, agar setiap ucapan, tulisan dan berbagai konten lainnya tidak sampai nampak berlebihan dan apalagi menciderai dan menfitnah orang lain atau kelompok lain.
Wujud kemerdekaan bagi setiap warga negara adalah fokus dalam menjalankan tugasnya dengan baik, benar, dan menyenangkan, karena disitulah hakikat kemerdekaan yang sebenarnya. Sementara wujud kemerdekaan bagi kalangan yang memiliki otoritas adalah menjaga segala aturan dan nilai agar tetap kokoh berada pada jalur yang sebenarnya sehingga kehidupan yang berkeadilan dapat dirasakan oleh setiap warga masyarakat.
Memang, secara hukum, negara Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan sejak tahun 1945, sehingga yang dibutuhkan saat ini dan seterusnya adalah bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan nilai-nilai merdeka itu sendiri.
Pada konteks ini, maka merdeka berarti bebas dari penjajahan dalam kategori apa pun, dengan kata lain warga negara Indonesia memiliki kuasa penuh untuk mengatur negara ini menuju ke arah yang benar-benar merdeka. Hal ini harus disadari bersama dalam konsep kesadaran nasional, agar kekayaan alam yang dimiliki oleh bumi pertiwi ini benar-benar dikelola searah dengan Pasal 33 UUD’45. Kenyataan sosial yang dirasakan oleh warga, justru sebaliknya; kekayaan alam yang dimiliki oleh bumi pertiwi ini seakan-akan (dan memang benar adanya) bukan milik masyarakat Indonesia, sehingga warga menjadi asing dengan kekayaan yang ada di negerinya sendiri. Betapa menyedihkan, masyarakat yang sangat tulus dalam mencintai negara ini malah menjadi susah karena cintanya sendiri, merdekakah ini?
Berbagai macam perayaan, perlombaan, yang dilakukan atas dasar rasa cinta terhadap negara ini ternyata hanya untuk dinikmatinya sendiri. Meskipun demikian, Masyarakat tetap dalam senyum yang tulus; sekali lagi karena cinta terhadap Negara Indonesia. Seandainya saja, jika masyarakat bisa memeluk negara ini sebagaimana seorang ibu memeluk anaknya, sudah pasti setiap saat negara ini selalu ada dalam pelukan mereka walaupun dengan keadaan yang getir. Inilah wujud konkret yang sebenarnya dari masyarakat yang sangat ber-Pancasila-is.
Namun demikian, meskipun merdeka berarti bebas tapi kebebasan setiap warga negara tentu tetap berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 45, agama, serta kearifan lokal budaya. Sehingga kebebasan yang ada adalah kebebasan yang diatur oleh nilai, kebebasan yang dikontrol oleh nilai, dan kebebasan yang dibatasi oleh nilai itu sendiri. Memang harus diakui bahwa ledakan informasi saat ini telah menghilangkan berbagai sekat pembatas antar orang, bahkan antar negara. Dunia terasa menyempit karena disatukan pada ruang yang terasa kecil oleh kemajuan teknologi informasi. Namun, bagi masyarakat Indonesia, hal ini seharusnya lebih mempererat persatuan.
Sehingga dengan demikian, kemerdekaan juga bermakna bersatu padu dalam membangun, bersatu padu dalam saling membantu, bersatu padu dalam membina generasi, bersatu padu dalam menyongsong kemajuan dan bersatu padu dalam kesejajaran sosial.
Wage Rrudolf Soepratman datang dengan “Indonesia Raya”, dia ajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama menyatakan bahwa Indonesia adalah tanahku negeriku yang ku cinta. Ismail Marzuki muncul dengan “Indonesia Pusaka”, dia mengajak setiap orang untuk menegaskan bahwa di sana tempat lahir beta, tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata.
Prohar Sudharnoto dengan “Garuda Pancasila”, dia ajak setiap orang untuk menyatakan akulah pendukungmu. Ibu Sud juga muncul dengan “Berkibarlah Benderaku”, Husein Mutahar juga bergerak dengan “17 Agustus Tahun 45”, serta sekian banyak tokoh-tokoh nasional yang tidak kalah jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia yang saat ini sedang kita nikmati. Mungkin tidak ada dalam benak mereka untuk mencari popularitas dengan sekian kreasi dan inovasi, karena yang terpikirkan oleh mereka adalah bagaimana Indonesia merdeka, terbebas dari segala penjajahan dan selanjutnya mampu hidup mandiri dengan memiliki harkat, martabat dan harga diri bangsa.
Semangat para tokoh nasional ini yang sekarang nampak hilang dalam pentas kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin keresahan tentang keadaan saat ini, jauh hari sebelumnya telah diteropong oleh Ismail Marzuki dalam bait syair:
Ku lihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intannya terkenang
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa….
Akhirnya, tidak ada kemajuan yang dipelopori, tidak ada kemerdekaan yang diperjuangkan, tidak ada kesatuan yang diusahakan, tidak ada kebahagiaan yang diupayakan.
Merdeka adalah hak bagi masyarakat, hak untuk hidup tenang, hak untuk bekerja nyaman, hak untuk belajar senang, hak untuk tertawa riang, hak untuk menghormati dan dihormati, dan merdeka berarti hak untuk melihat dan merasakan kebesaran, kekuatan, kedaulatan, kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam bingkai persatuan sebagai wujud harkat, nilai, dan martabat bangsa Indonesia. Merdekaaaaaaaaa…(*)