Penulis: Ahmad Jais (Guru SMA Negeri 1 Modayag)
OPINI- Setiap kali pemilihan umum (Pemilu) mendekat, baik itu pemilihan eksekutif ataupun legislatif kesejahteraan guru selalu menjadi salah satu isu yang ramai diperbincangkan. Para politisi dengan mudahnya menjadikan profesi guru sebagai salah satu titik sentral dalam janji-janji kampanye mereka.
Mereka mengumbar retorika bahwa profesi guru akan lebih dihargai, gaji akan ditingkatkan, dan kesejahteraan mereka akan dijamin. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda. Kesejahteraan guru di Indonesia masih jauh dari kata layak, dan janji-janji tersebut sering kali menguap setelah Pemilu usai.
Profesi guru, yang sejatinya menjadi pilar pendidikan dan pembangunan bangsa, kerap dijadikan “komoditas politik”. Isu pendidikan, terutama terkait kesejahteraan guru, menjadi salah satu topik yang dianggap memiliki daya tarik elektoral. Para kandidat menggunakan jargon “mensejahterakan guru” untuk meraih simpati pemilih, terutama dari kalangan pendidikan dan masyarakat umum yang mendambakan perbaikan kualitas pendidikan.
Namun, janji-janji tersebut hanya terdengar lantang saat kampanye, tanpa diikuti langkah konkret yang signifikan setelah pemilihan selesai. Ironisnya, setelah para pejabat terpilih menduduki posisi kekuasaan, kesejahteraan guru tetap berada di titik yang sama, bahkan cenderung stagnan. Sementara beban dan tanggung jawab guru terus bertambah, kesejahteraan mereka tetap minim. Banyak guru, terutama mereka yang berstatus honorer, harus bergulat dengan gaji rendah, keterbatasan fasilitas, dan kurangnya dukungan dari sistem pendidikan itu sendiri.
Imajiner vs Realitas
Di setiap Pemilu, baik di tingkat daerah maupun nasional, janji untuk memperbaiki kesejahteraan guru selalu menjadi salah satu agenda yang dijadikan umpan politik. Para politisi berlomba-lomba untuk menjanjikan kenaikan gaji guru, pengangkatan guru honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) entah itu PNS ataupun P3K, hingga perbaikan fasilitas pendidikan yang dianggap akan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Sayangnya, setelah Pemilu selesai, sebagian besar janji tersebut hanya tinggal slogan.
Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), lebih dari 50% guru honorer di Indonesia masih menerima gaji yang jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Banyak dari mereka yang bahkan harus bekerja tambahan sebagai pengemudi ojek, pedagang kecil, atau pekerjaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sementara janji untuk meningkatkan kesejahteraan guru, terutama dalam hal pengangkatan guru honorer dan peningkatan gaji, sering kali terhambat oleh birokrasi yang lambat dan kebijakan yang tidak berkesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Jargon yang Berulang
Prof. Dr. Abdul Malik, seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa masalah kesejahteraan guru selalu menjadi alat politik yang dipolitisasi secara berulang. Setiap menjelang Pemilu, isu kesejahteraan guru selalu diangkat. Janji-janji ini terus diulang, tetapi realisasinya minim. Bahkan setelah para pejabat terpilih, nasib guru sering terlupakan dan kembali ke posisi awal, tanpa perubahan yang signifikan.
Kondisi ini merupakan cerminan dari lemahnya komitmen negara terhadap pendidikan. Kesejahteraan guru tidak hanya terkait dengan peningkatan gaji semata, tetapi juga dengan bagaimana negara memperlakukan dan memposisikan profesi guru secara keseluruhan. Persolan ini tidak hanya bicara tentang gaji, tapi juga tentang kualitas hidup mereka secara keseluruhan, mulai dari akses kesehatan, Pendidikan dan pelatihan pendalaman profesi, suasana kerja yang kondusif, kemudahan memperoleh hunian, dan jaminan Pendidikan untuk anak-anaknya.
Dr. Irma Yulita, seorang pakar kebijakan publik, menyatakan bahwa janji kampanye yang terkait dengan kesejahteraan guru hanya sebagai retorika tanpa strategi jangka panjang. Guru selalu menjadi komoditas politik. Mereka dijanjikan kesejahteraan, namun setelah masa kampanye selesai, tidak ada kebijakan nyata yang benar-benar memperbaiki kondisi mereka. Janji untuk meningkatkan gaji atau mengangkat guru honorer tidak lebih dari sekadar wacana yang diulang-ulang.
Kebijakan yang Lamban
Kesejahteraan guru di Indonesia juga terganjal oleh kebijakan yang berjalan setengah hati. Program sertifikasi guru, yang awalnya dimaksudkan sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas serta kesejahteraan guru, sering kali tidak berjalan dengan efektif. Banyak guru yang kesulitan mengakses program ini, baik karena terbentur syarat administratif yang rumit maupun karena keterbatasan kuota yang disediakan pemerintah. Akibatnya, banyak guru yang sebenarnya layak untuk menerima sertifikasi dan tunjangan kesejahteraan, justru tidak mendapatkan haknya.
Barulah di pertengahan tahun 2024 ini ditemukan salah satu cara untuk mempermudah guru-guru dalam mengikuti program sertifikasi guru, yaitu Piloting PPG bagi Guru Tertentu yang tata aturannya tertuang dalam (Permendikbudristek No. 19 Tahun 2024 Tentang PPG). PPG dalam jabatan (guru tertentu), sistemnya mahasiswa belajar mandiri tanpa didampingi dosen dan guru pamong. Konsep inilah yang diharapkan akan mempercepat sampai ke tahap kelulusan. Sebab proses belajarnya mandiri di LMS (terintegrasi dengan PMM), daya tampungnya pun menjadi lebih besar. Semula, dengan pola lama hanya bisa menampung 80.000 peserta, sekarang bisa hampir 600.000 peserta. Awalnya diperkirakan butuh waktu 20 tahun agar semua guru-guru tesertifikasi melalui PPG dalam jabatan, tetap dengan sistem pelaksanaan PPG terbaru tersebut maka target 3 tahun bisa selesai.
Selain sertifikasi, kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (PNS/PPPK) juga menghadapi masalah yang sama. Pengangkatan guru honorer selalu dijadikan janji saat kampanye, namun realisasinya berjalan sangat lambat. Bahkan, tidak sedikit guru honorer yang sudah berusia lanjut tetapi belum juga diangkat, sehingga kesejahteraan mereka semakin tergerus. Bahkan saat setelah dibuka proses seleksinya ASN PPPK misalnya, masalah masih saja terjadi diantaranya ketidaksinambungan kuota formasi yang tersedia dengan kebutuhan di tingkat instansi atau satuan pendidikan.
Optimisme di Masa Depan
Untuk mencapai kesejahteraan guru yang sejati, perlu ada upaya yang lebih serius dari pemerintah. Kesejahteraan guru tidak hanya tentang upah, tetapi juga tentang memberikan mereka rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesinya. Langkah-langkah nyata yang harus diambil mencakup peningkatan gaji, perlindungan sosial yang memadai, serta akses ke pendidikan/pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan.
Prof. Abdul Malik mengatakan bahwa jika kita benar-benar ingin memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, maka perbaikan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas utama. Tanpa guru yang sejahtera, kita tidak bisa berharap banyak dari sistem pendidikan kita.”
Pendapat ini didukung oleh banyak kalangan, yang menilai bahwa perbaikan nasib guru harus dimulai dari komitmen politik yang kuat, yang diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.
Di masa depan, diharapkan kesejahteraan guru tidak lagi menjadi sekadar alat kampanye, melainkan benar-benar menjadi agenda pembangunan yang nyata. Pendidikan adalah fondasi dari kemajuan bangsa, dan guru adalah tiang penopangnya. Kesejahteraan mereka harus menjadi perhatian utama agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan bimbingan yang lebih baik dan berkualitas.(*)