Media Kapas Iqra

Akhiri Petualangan Firli dan Kembalikan Muruah KPK

Redaksi: kapasiqra.com | November 24, 2023

POLDA Metro Jaya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Penetapan tersangka tersebut sebagai akhir dari perjalanan panjang beragam kasus yang mendera Firli begitu dramatis. Beberapa kasus pelanggaran etika dan pidana sebelumnya, ternyata tidak ampuh mengakhiri kariernya.

Firli muncul sebagai sosok kontroversial sejak menjabat Deputi Penindakan KPK, dan berlanjut saat proses seleksi pimpinan KPK. Berbagai protes dari publik terkait rekam jejaknya yang disuarakan kepada panitia seleksi pimpinan KPK hampir tidak bergema, bagaikan teriakan di tengah padang pasir.

Cacat bawaan proses seleksi pimpinan KPK konsekuensi dari penetapan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemandirian KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif di luar pengaruh eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengalami degradasi, antara lain dengan keberadaan dewan pengawas dan menempatkan pegawai KPK sebagai ASN.

Menurut Pasal 32 ayat 2 UU No 19 Tahun 2019, pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya ketika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Sesuai dengan ketentuan, pengganti Firli berasal dari empat orang tersisa yang tidak terpilih saat diseleksi Komisi III DPR pada 2019 .

 

Kontroversi penanganan kasus korupsi era Firli

Sebagai kilas balik melorotnya kepercayaan publik terhadap KPK, terlihat adanya kontroversi penanganan kasus era Firli berikut ini. Pertama, penanganan kasus Harun Masiku yang merupakan kasus perdana KPK era Firli bagai raib ditelan bumi menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Kenapa Firli enggan menangkap Harun Masiku yang telah menjadi buron hampir empat tahun.

Kedua, pertemuan Firli dengan Gubernur Papua Lukas Enembe di kediamannya pada 3 November 2022, saat Lukas telah ditetapkan sebagai tersangka. UU Nomor 19 Tahun 2019 menyatakan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran atas larangan.

Ketiga, pembocoran dokumen penyelidikan kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Polda Metro Jaya memutuskan menaikkan laporan ke status penyidikan karena unsur pidana ditemukan, tetapi Dewas KPK memutuskan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Firli.

Keempat, mencuatnya alasan pemberhentian satu deputi dan dua direktur KPK yang menolak keinginan Firli memaksakan untuk menaikkan status penyidikan dugaan korupsi tertentu tanpa dua alat bukti yang cukup, mengindikasikan Firli telah menarik KPK terlibat dalam konstetasi politik.

Selain itu, pada pertengahan Januari 2023 KPK menggeledah DPRD DKI terkait kasus pengadaan tanah Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, oleh Perumda Sarana Jaya pada 2018-2019. Ketika melakukan penggeledahan di DPRD DKI, KPK menyatakan telah mengantongi nama tersangka. KPK juga telah menyatakan adanya anggota DPRD DKI yang menerima aliran dana. Namun, sudah berselang 10 bulan, KPK belum kunjung mengumumkan tersangka tersebut.

Kasus itu mencerminkan penanganan kasus korupsi selama era Firli tidak transparan. Dengan keadaan ini berpotensi terjadi transaksi dengan pihak yang beperkara. KPK berpotensi menjadikan kasus korupsi yang menyasar elite politisi sebagai sandera untuk tawar-menawar kepentingan politik tertentu. Padahal, SOP KPK selama ini telah menetapkan standar suatu kasus pada tahap penyelidikan dan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

UU No 19 Tahun 2019 menempatkan proses penggeledahan untuk kasus yang bukan OTT dilakukan setelah penetapan tersangka. Faktanya, pada beberapa kasus setelah dilakukan penggeledahan, KPK juga tidak kunjung menetapkan tersangka. Bahkan, SOP yang selama ini cukup transparan mengenai pengumuman tersangka diubah pengumumannya bersamaan dengan penahanan. Namun, pada kasus Wamenkum dan HAM, penetapan tersangka tidak diikuti dengan penahanan sehingga yang bersangkutan tidak malu menghadiri RDP dengan Komisi III DPR.

 

Mencari pengganti Firli

Keberadaan KPK adalah jawaban tuntutan masyarakat untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai anak kandung reformasi, KPK diharapkan mampu menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa secara profesional, penuh integritas, dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Selama hampir dua dekade, terbukti tingginya tingkat kepercayaan publik kepada lembaga antirasuah itu, dan membaiknya indeks persepsi korupsi.

Namun, semua prestasi yang diraih KPK menjadi sirna seketika pada era Firli Bahuri. Dinamika internal KPK dan minimnya keteladanan pimpinan memperlihatkan fakta-fakta yang membuat publik kehilangan asa. Alih-alih memperkuat penegakan hukum melawan para pencoleng uang negara yang semakin canggih, malahan publik dipertontonkan pelanggaran etika dan pidana pimpinan KPK.

Keputusan MK, yang mengabulkan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun, membuat pimpinan KPK saat ini akan bercokol sampai 20 Desember 2024. Walaupun waktu tersisa hampir 1 tahun 1 bulan, dinamika politik sangat tinggi karena ada agenda pemilu dan pilkada serentak pada tahun yang sama.

Selama gelaran pesta demokrasi itu berlangsung, KPK tetap tancap gas melakukan kerja penindakan korupsi. Untuk itu, kepemimpinan KPK harus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, imparsial, dan jauh dari kepentingan politik.

Berdasarkan penetapan tersangka Polda Metro Jaya, Presiden Jokowi harus segera menerbitkan keppres pemberhentian sementara mantan Kabaharkam Polri itu. Terlepas dari asas praduga tidak bersalah, sebagai yurisprudensi pada kasus yang berbeda yang menimpa Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pada 2015, Presiden memberhentikan dan menetapkan penggantinya dalam waktu yang bersamaan pada 18 Februari 2015.

Berbeda halnya pemberhentian Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang diduga sarat dengan kriminalisasi, Presiden segera memberhentikannya tanpa beban. Seyogianya pada kasus Firli yang nyata-nyata melakukan perbuatan lancung, Presiden harus bersikap yang sama, segera memberhentikan dan mengajukan dua calon dari empat pimpinan KPK yang pernah diseleksi DPR. Selanjutnya, DPR segera melakukan uji kelayakan untuk memilih satu pimpinan KPK. Dengan demikian, sebelum DPR memasuki penutupan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024, pimpinan KPK sudah dilantik.

Sesuai Pasal 30 ayat 11 UU No 19/2019, Komisi III DPR menetapkan ketua pada saat proses pemilihan di DPR dari pimpinan KPK yang memperoleh suara terbanyak. Apakah Komisi III menyetujui hasil pemungutan suara sebelumnya, atau melakukan pemilihan ulang di antara kelima pimpinan KPK itu.

Penilaian rekam jejak yang sempurna dari kelima pimpinan KPK diharapkan mampu mengembalikan muruah KPK sebagai institusi negara yang paling tepecaya dan layak dipimpin oleh manusia setengah dewa.

 

sumber : https://mediaindonesia.com/opini/632086/akhiri-petualangan-firli-dan-kembalikan-muruah-kpk

Berita Terbaru