Media Kapas Iqra

Sumpah Pemuda dan Pragmatisme Generasi Z Tahun 2024

Redaksi: kapasiqra.com | October 27, 2024

Penulis: Ahmad Jais, S.Pd., Gr. (Guru SMA Negeri 1 Modayag, Sulawesi Utara)

OPINI- Tanggal 28 Oktober 1928 menandai peristiwa bersejarah ketika para pemuda Indonesia bersatu dalam semangat nasionalisme dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda. Mereka berjanji untuk bersatu sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Ini menjadi pondasi Utama atau sebuah langkah awal menuju kemerdekaan Indonesia.

Namun, dalam konteks Indonesia di tahun 2024, bagaimana semangat ini diterjemahkan oleh Generasi Z yang dihadapkan pada tantangan dunia kerja, ekonomi digital, dan globalisasi? Apakah idealisme 1928 masih relevan bagi generasi yang lebih pragmatis dalam menghadapi ketidakpastian masa depan?

Generasi Z, yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang cepat, menghadapi realitas yang berbeda dibandingkan dengan para pemuda pada tahun 1928. Mereka hidup di era globalisasi, di mana tantangan tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga dari luar. Kompetisi kerja yang semakin ketat, ketidakpastian ekonomi global, dan kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan dan otomatisasi telah mengubah lanskap ekonomi secara drastis.

Bagi Generasi Z, bertahan di dunia yang penuh ketidakpastian memaksa mereka untuk lebih pragmatis, sering kali mengorbankan idealisme demi kenyataan ekonomi. Di sinilah perdebatan mengenai bagaimana semangat Sumpah Pemuda dapat tetap hidup di tengah kondisi yang berubah ini menjadi penting.

Pragmatisme di Tengah Sulitnya Mencari Kerja

Generasi Z Indonesia, yang saat ini berada di rentang usia 18 hingga 29 tahun, menghadapi kenyataan baru: lapangan kerja yang semakin terbatas dan kompetisi global yang kian ketat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di kalangan pemuda pada tahun 2024 mengalami peningkatan, terutama setelah pandemi global yang mengguncang berbagai sektor ekonomi.

Dampaknya adalah banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Prof. Bambang Brodjonegoro, seorang ahli ekonomi, mencatat bahwa disrupsi teknologi dan otomatisasi mempercepat pergeseran kebutuhan industri, sehingga keterampilan konvensional yang diajarkan di sekolah sering kali tidak lagi relevan di dunia kerja saat ini.

Situasi ini memaksa Generasi Z untuk lebih pragmatis dalam memilih jalan karier. Banyak yang kemudian memilih pekerjaan sementara, menjadi pekerja lepas (freelancer), atau bahkan mendirikan usaha kecil-kecilan. Mereka juga memanfaatkan platform digital dan media sosial untuk mencari peluang, baik sebagai konten kreator, reseller produk, maupun pekerja jarak jauh.

Menurut Dr. Irfan Pratama, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, fenomena ini menunjukkan bagaimana Generasi Z tidak lagi terpaku pada satu jalur karier, tetapi cenderung memilih fleksibilitas dan mobilitas ekonomi sebagai bentuk adaptasi terhadap ketidakpastian zaman.

Refleksi Sumpah Pemuda 1928 di Tahun 2024

Ketika kita membandingkan semangat idealisme dari Sumpah Pemuda dengan pragmatisme Generasi Z saat ini, tampak adanya jarak antara kedua hal tersebut. Pada tahun 1928, para pemuda bersatu dalam satu tujuan besar kemerdekaan Indonesia. Mereka mengorbankan kenyamanan pribadi dan berjuang untuk sebuah cita-cita kolektif yang mengatasi perbedaan etnis, agama, dan daerah. Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarawan, berpendapat bahwa keberanian pemuda saat itu muncul dari keyakinan kuat bahwa hanya melalui persatuan dan pengorbanan bersama, kemerdekaan bisa diraih.

Di sisi lain, Generasi Z pada tahun 2024 lebih fokus pada individualitas dan survival di tengah dunia yang semakin kompetitif. Idealisme seperti yang muncul di tahun 1928 terasa sulit dipertahankan ketika banyak dari mereka dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: keterbatasan lapangan kerja, kesenjangan ekonomi, dan arus globalisasi. Dian Kuswandini, seorang pengamat sosial, mencatat bahwa meskipun semangat kebangsaan masih ada di kalangan Generasi Z, bentuk perjuangannya berbeda. Alih-alih berjuang untuk bangsa dalam makna politis, banyak dari mereka kini lebih fokus pada “berjuang untuk diri sendiri dan keluarga”.

Namun, apakah pragmatisme ini berarti hilangnya idealisme kebangsaan? Dr. Yudi Latif, seorang ahli politik dan kebangsaan, menilai bahwa idealisme Sumpah Pemuda masih dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk modern. Generasi Z, dengan segala pragmatisme mereka, tetap bisa memainkan peran penting dalam membangun bangsa melalui inovasi teknologi, partisipasi dalam kewirausahaan sosial, dan inisiatif digital. “Dalam konteks kekinian, nasionalisme bisa diartikan sebagai upaya memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui kontribusi konkret di berbagai bidang, termasuk ekonomi, teknologi, dan seni,” ujar Yudi.

Tantangan & Peluang menuju Indonesia Emas 2024

Generasi Z menghadapi tantangan global yang tidak dihadapi oleh pemuda pada tahun 1928, seperti ketidakpastian ekonomi global, perubahan iklim, hingga transformasi digital.

Namun, di balik semua itu, mereka memiliki kekuatan yang belum dimiliki oleh generasi sebelumnya, seperti akses ke teknologi dan informasi yang melimpah. Hal tersebut adalah kekuatan besar yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong perubahan, agar mencapai Indiensia Emas tahun 2045 .

Menurut Francesca Gino, seorang profesor dari Harvard Business School, Generasi Z di seluruh dunia menunjukkan kecenderungan untuk menjadi lebih adaptif dan mandiri dalam menghadapi perubahan. Mereka cenderung tidak menunggu pemerintah atau institusi besar untuk melakukan perubahan, melainkan memanfaatkan alat-alat digital untuk menciptakan peluang sendiri. Di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari munculnya banyak start-up dan inisiatif wirausaha di kalangan anak muda.

Namun, tantangan besar tetap ada: bagaimana menyelaraskan semangat individualisme dan pragmatisme ini dengan nilai-nilai kolektivisme yang tertanam dalam Sumpah Pemuda? Dr. Devie Rahmawati, seorang ahli komunikasi sosial, menyatakan bahwa “semangat kolektif tetap penting untuk menjawab tantangan-tantangan nasional, seperti kesenjangan pendidikan, ketidaksetaraan akses teknologi, dan masalah lingkungan. Jika generasi ini hanya memikirkan diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain, maka akan sulit bagi Indonesia untuk maju sebagai sebuah bangsa.”

Korelasi Pragmatisme & Idealisme

Bagi Generasi Z, semangat Sumpah Pemuda tetap bisa dihidupkan dalam bentuk kolaborasi lintas daerah, suku, dan latar belakang untuk menciptakan inovasi dan solusi bagi permasalahan sosial. Gotong royong yang menjadi nilai inti dalam budaya Indonesia masih relevan, terutama dalam konteks dunia digital. Kolaborasi dapat terjadi dalam bentuk proyek-proyek berbasis teknologi, inisiatif kewirausahaan sosial, serta upaya-upaya untuk memperjuangkan keadilan sosial di era digital.

Generasi ini memiliki kekuatan unik: kemampuan untuk beradaptasi dan menggunakan teknologi secara cerdas. Namun, teknologi saja tidak cukup. Dr. Sri Adiningsih, mantan ketua Dewan Pertimbangan Presiden, menekankan bahwa penting bagi generasi muda untuk tetap memiliki idealisme dan visi kebangsaan yang kuat. “Jika generasi muda hanya fokus pada keuntungan materi jangka pendek, kita akan kehilangan momentum untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.”

Sumpah Pemuda 1928 adalah simbol dari persatuan dan keberanian untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun Generasi Z pada tahun 2024 dihadapkan pada tantangan yang berbeda, semangat ini tetap relevan. Pragmatisme mereka dalam menghadapi dunia kerja yang sulit adalah bentuk adaptasi terhadap zaman, namun idealisme kebangsaan tidak boleh hilang.

Dengan menggabungkan semangat adaptasi, kolaborasi, dan tanggung jawab sosial, Generasi Z dapat melanjutkan perjuangan untuk membangun Indonesia yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.(*)

Berita Terbaru